
Istilah farm forestry dikenal sebagai hutan rakyat. Hutan rakyat adalah hutan yang tidak berada di atas lahan yang dikuasai oleh pemerintah, jadi hutan rakyat merupakan hutan yang dimiliki oleh rakyat (Hardjosoediro, 1980 dalam PKHR, 1999). Hutan rakyat ini menjadi harapan baru bagi sektor kehutanan. Hutan rakyat dapat meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan ikutan lainnya; meningkatkan kesempatan kerja; memperbaiki sistem tata air; meningkatkan proses penyerapan karbon monooksida dan polutan lain dari udara; meningkatkan suplai oksigen ke udara; dan menjadi habitat yang baik bagi satwa dan menjaga keanekaragaman hayati (Awang, et al, 2001; Simon, 2010). Hutan rakyat merupakan sebuah sistem usaha hutan rakyat terdiri atas sub sistem produksi, pengolahan, pemasaran hasil, dan kelembagaan. Salah satu hutan rakyat yang telah berhasil dikembangkan adalah di wilayah Kabupaten Gunungkidul. Tahun 1960-an wilayah Kabupaten Gunungkidul dikenal sebagai daerah yang tandus dan kritis, namun saat ini telah berubah menjadi hijau dan subur (Simon, 2010).
Hutan rakyat di Kabupaten Gunungkidul beragam komposisi jenisnya, masing-masing jenis memerlukan perlakuan silvikultur yang berbeda-beda sesuai sifat tumbuhnya. Jenis yang mendominasi hutan rakyat di Kabupaten Gunungkidul adalah jati (Tectona grandis) (Oktalina, 2015). Jenis tersebut memiliki potensi produksi yang cukup tinggi dibandingkan jenis lainnya. Peningkatan luas hutan rakyat dan produksi kayu dari hutan rakyat tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas kayu yang dihasilkan. Sebagai contoh kayu jati dari hutan rakyat Gunungkidul kualitasnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan kayu jati yang dihasilkan oleh Perum Perhutani. Akibatnya, harga jual kayu jati dari hutan rakyat Gunungkidul hanya setengah dari harga kayu Perum Perhutani. Didukung fakta di lapangan bahwa harga bibit unggul jati di pasaran lebih tinggi.
Problematika yang disebutkan di atas dialami oleh warga salah satu desa di sisi utara Gunungkidul, Desa Watusigar. Ketinggian desa ini 600 mdpl di atas permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 1382 mm/tahun, sebagian besar jenis tanahnya adalah latosol. Desa ini memiliki lanskap berupa perbukitan dengan kemiringan antara 0-40 %. Desa memiliki potensi produksi di bidang pertanian yang tinggi. Luas lahan persawahan dan hutan rakyat dengan luas masing-masing 139,02 Ha dan 25 Ha dari luas wilayah desa keseluruhan 701,46 Ha.
Akan tetapi, masalah utama yang harus diselesaikan di wilayah tersebut adalah upaya peningkatan hasil produksi kayu jati masyarakat Desa Watusigar yang masih dapat dikembangkan guna peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan penerapan teknik silvikultur intensif. Pada tahun 2015 desa tersebut telah mendapatkan pendampingan mengenai intensifikasi pengelolaan hutan rakyat, namun dalam rangkaiannya perlu dilakukan kegiatan monitoring dan pendampingan terhadap masyarakat kelompok tani dalam pemeliharaan tegakan untuk dapat memperoleh hasil produktivitas kayu yang optimal saat panen. Penyelesaian permasalahan ini diupayakan melalui pendampingan implementasi pemeliharaan tegakan hutan rakyat dari, oleh dan untuk masyarakat Desa Watusigar berbasis pemberdayaan masyarakat. Kegitan tersebut di antaranya adalah dengan pemberian bekal teknis kepada petani agar dapat melakukan pengukuran dan pemeliharaan secara kontinyu dan dengan melakukan kunjungan ke instansi BPDAS-HL SOP dan Hutan Pendidikan Wanagama I.
Monitoring dan pendampingan dalam aplikasi teknik silvikultur intensif bertujuan untuk menunjukkan kepada masyarakat seberapa jauh pengelolaan tegakan yang telah dilakukan masyarakat dan memberi penguatan kepada kelompok tani agar dapat melaksanakan pemeliharaan tegakan secara mandiri dengan prinsip-prinsip yang tepat. Sebagai misal petani menjadi tau kapan dilakukannya prunning dan penjarangan. Selain itu, dilakukan pendampingan pengukuran tegakan dimaksudkan agar masyarakat/ petani dapat melakukan kegiatan pengukuran diameter dan tinggi secara mandiri dan berkala. Pengukuran menggunakan alat semacam pita meter yang dapat dilakukan untuk menghitung tinggi, diameter, dan basal area sehingga lebih praktis digunakan.

Kondisi tegakan jati yang belum dikelola dengan baik, ditunjukkan dengan adanya cabang atau ranting yang tumbuh mulai dari batang utama bagian bawah dalam jumlah banyak. Hal ini akan berpengaruh pada produk kayu pasca panen akan menghasilkan mata kayu yang banyak, sehingga harganya rendah di pasaran
Salah satu permasalahan yang dikeluhkan masyarakat adalah peningkatan kuantitas dan kualitas tanaman jati serta optimalisasi dalam pengelolaan tegakan. Di samping itu, warga masyarakat mengeluhkan sering dikelabuhi oleh pembeli kayu dalam hal pengukuran volume kayu. Solusi yang ditawarkan adalah serangkaian perlakuan yang dimulai dari pengadaan bibit hingga perlakuan pasca panen. Sebagai misal, perlakuan pasca panen adalah bagaimana cara mengukur volume kayu agar memperoleh harga yang maksimal (sesuai). Hal ini dijelaskan oleh narasumber salah satunya adalah teknik mengukur diameter pohon adalah diukur pada ketinggian 1,3 meter, namun pembeli terkadang mengukurnya pada ketinggian yang lebih supaya mendapatkan ukuran diameter yang lebih kecil.
Di sisi lain, menurut pengakuan anggota kelompok tani, tanaman jati di hutan rakyat Desa Watusigar berasal dari benih pohon indukan yang ada di lokasi tersebut yang kemudian mereka pindahkan menjadi tanaman pagar. Mereka tidak menggunakan bibit jati unggul dalam pertanaman jati dengan alasan ketidaktahuan mereka terhadap adanya bibit unggul jati.

Bibit unggul jati dengan beberapa karakteristik unggulannya, di antaranya batang lurus monopodial, tbbc tinggi, rotasi tanam pendek, dan lain sebagainya. Setelah pemilihan bibit, pemeliharaan tanaman sewaktu masih muda (umur 3-5 tahun) juga perlu diperhatikan, meliputi penyiangan, penyulaman, pendangiran, pemupukan, pemulsaan, singling dan wiwil, pruning, pemberantasan hama dan penyakit serta pengontrolan ketersediaan air (CIFOR, 2010). Disebutkan juga oleh narasumber bahwa perlakuan tanaman jati pada waktu muda akan berpengaruh pada karakteristik kayu jati yang dihasilkan denga harga tinggi di pasaran.
Kunjungan anggota kelompok tani ke persemaian merupakan rancangan dari program pengabdian kepada masyarakat yang bertujuan untuk menunjukkan secara nyata bagaimana perlakuan bibit tanaman kehutanan yang baik. Kunjungan ini dilaksanakan pada tanggal 19 September 2018. Kegiatan didampingi oleh narasumber dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai-Hutan Lindung Serayu Opak Progo (BPDAS-HL SOP).

Kunjungan ke Petak 5 Hutan Pendidikan Wanagama I merupakan rangkaian agenda terakhir dari program kegiatan pengabdian kepada masyarakat 2018. Kelompok tani melakukan studi banding tegakan unggulan di Petak Jati Mega. Petak ini telah mengalami perlakuan yang intensif berupa pruning dan penjarangan di samping penggunaan bibit unggul sebagai materi permudaannya. Kegiatan pruning merupakan kegiatan pembersihan cabang atau ranting untuk meminimalisir jumlah mata kayu yang dihasilkan dari cabang maupun ranting sehingga diperoleh tbbc yang tinggi. Jumlah mata kayu berbanding terbalik dengan harga jual kayu. Pembersihan ranting dan cabang dapat menggunakan gergaji pruning dengan penetuan cabang yang dibersihkan adalah yang memiliki diameter di bawah alat gaus, yakni 3 cm dan 8 cm. pemotongan cabang atau ranting menggunakan gergaji pruning.
Sementara itu, kegiatan penjarangan merupakan pengurangan individu dengan fenotip kurang dengan mempertimbangkan ruang tumbuh agar individu yang memiliki fenotip baik dapat tumbuh secara optimal. Tahapan kegiatan penjarangan adalah dengan menghitung basal area (luas bidang dasar). Hasil dari perhitungan nilai basal area dapat digunakan untuk menentukan jumlah dan individu yang perlu dijarangi. Secara umum kriteria pohon yang dijarangi adalah pohon yang berpenyakit, cacat, tertekan, dan mati (Perhutani).


